Karakter Para Sahabat

Rasulullah mengkhususkan keteladanan pada 2 orang khalifah setelah beliau, Abu Bakar dan ‘Umar. Ini mengisyaratkan bahwa gabungan karakter keduanya sudah mewakili karakter manusia mulia dalam Islam.

“Ikutilah jejak dua orang sesudahku, Abu Bakar dan ‘Umar.”

(HR at-Tirmidzi [3662] dan dihasankannya, Ibnu Majah [97], Ahmad [V:382], dan al-Hakim [III:75] beliau menshahihkannya dan adz-Dzahabi menyetujuinya)

Abu Bakar dan ‘Umar adalah 2 sosok yang begitu kontras dalam sikapnya. Abu Bakar yang begitu kurus sampai sarungnya selalu mengulur ke bawah, sedangkan ‘Umar pernah membuat empat makmum jatuh terjengkang karena bersinnya saat memeriksa shaf sholat. Maa syaa Allah.

Sedangkan ‘Utsman bin’Affan mewakili karakter pemalu, pemurah, dan penuh kelembutan yang menjadi mulia Bersama keislamannya. Diriwayatkan bahwa kalau mandi beliau harus berada dalam rumah, dalam sebuah kamar, dalam sebuah bilik tertutup, dan masih harus berselubung kain tebal. Itupun beliau tidak bisa mengangkat kepala dan punggungnya karena malu.

‘Aisyah menceritakan bahwa Ketika Rasulullah dalam keadaan betisnya terbuka, datang Abu Bakar meminta izin masuk berbincang dan beliau tetap dalam keadaan seperti itu. Lalu ‘Umar datang dan beliau juga tetap dalam keadaan seperti itu. Lalu Ketika ‘Utsman meminta izin masuk, beliau duduk dan merapikan pakaiannya. Ketika ‘Utsman keluar, ‘Aisyah menanyakan hal itu dan dijawab, “Patutkah aku tidak merasa malu kepada lelaki yang para malaikat pun merasa malu kepadanya?” (HR. Muslim [2402], dan Ahmad [VI:62])

Abu Dujanah memang congkak, tapi ia bingkai kecongkakannya dalam jihad menghadapi musuh-musuh Allah sehingga ia mulia dengan kecongkakannya. Ikat kepala merah, langkah yang angkuh, jalan yang penuh gaya, membuat Rasulullah berkomentar, “Allah membenci yang seperti ini kecuali dalam peperangan di jalan-Nya!” akhirnya, Abu Dujanah meraih kemuliaan yang ia nantikan, sambutan 70 bidadari surga.

Para sahabat adalah figur-figur menarik yang penuh warna, menggambarkan sosok mereka sebagai manusia biasa, tetapi ada kemuliaan yang senantiasa terukir dalam ke-biasa-annya itu.

Ada orang-orang besar dengan gelar besar. Tetapi kebesaran itu bermula dari satu prinsip yang dipegang teguh. Satu saja, kecil saja. Tetapi istiqamah. Abu Bakar ash-Shiddiq. Benar, membenarkan, dan dibenarkan. Mengapa? Karena teguh untuk wakin pada apa yang berasal dari sisi Allah dan Rasul-Nya. Maka keyakinan itu menjadi sesuatu yang sangat besar, “Andaikan iman seluruh manusia ditimbang pada suatu dacing dan iman Abu Bakar pada dacing yang lain, niscaya iman Abu Bakar lebih berat.” Subhanallah!

‘Umar al-Faruq. Ia sosok yang tak pernah menyembunyikan perasaannya. Jujur pada dirinya, jujur pada Allah, jujur pada manusia. Blak-blakan, keras, tak kenal takut. “Bukankah kita berada di atas kebenaran? Bukankah mereka berada di atas kebathilan? Bukankah kalau kita mati, kita masuk surga sedang mereka masuk neraka?” Maka bermulalah aksi-aksi besar kaum Muslimin dari ‘Umar, ba’dallah. Da’wah terang-terangan, show off force di Ka’bah, hijrah terang-terangan, dan gemeretaknya gigi orang kafir dan munafik. Ia keras. Sangat keras. Tetapi ada saat dimana ialah manusia terlembut; saat memimpin. Maka benarlah kata-kata Ibnu Mas’ud, “Islamnya ‘Umar adalah kemenangan, hijrahnya adalah pertolongan, dan kepemimpinannya adalah rahmat bagi orang beriman.”

‘Utsman dzu-Nurain, si pemalu berakhlaq mulia. Malu tak hanya pada manusia, tetapi lebih dari itu, pada Allah. Mandinya ‘Utsman tidak dilakukan kecuali dalam rumah yang terkunci rapat, tertutup semua lubangnya, di kamar yang paling terlindung dan terkunci, dalam sebuah bilik rapat di kamar itu, dan dipasang selubung kain yang tinggi. Itu pun, ‘Utsman masih tak bisa menegakkan punggung karena rasa malu. Ia selalu malu pada Allah. Ia malu, jika nikmat-nikmat Allah tak ia nafkahkan di jalan-Nya. Maka ribuan unta menyertai perang Tabuk. Ia malu, jika ia kenyang sementara penduduk Madinah ditimpa paceklik. Maka 1000 unta penuh muatan ia bagikan gratis. Ia malu, jika ia minum air sejuk sementara penduduk Madinah meminum air bacin. Maka dibelinyalah sumur Raumah, lalu ia wakafkan. “Tidak akan membahayakan ‘Utsman”, sabda sang Nabi, “Apa pun yang dia lakukan setelah hari ini.” Dan ‘Utsman semakin merasa malu.

‘Ali yang ceria. Ceria mengajarinya keberanian untuk tidur menggantikan Rasulullah di saat terror pembunuhan mengepung kediaman beliau yang kecil. Ceria mengajarinya berlari-lari menyusur padang pasir sejauh 400 km untuk hijrah seorang diri dalam kejaran musuh. Ceria mengajarinya berolok-olok pada Amir ibn Abdu Wudd, jagoan Quraisy yang menantang perang tanding dalam perang Khandaq. Dan saat tubuh yang besarnya dua kali lipat dirinya itu jatuh terbelah, kaum Muslimin pun bertakbir gembira. Dan ia, tetap ceria. Ceria mengajarinya untuk asyik belajar, maka ia menjadi pintu kota ilmu. Ceria -saat sakit mata- membuatnya menjadi pemegang panji penaklukan Khaibar, maka jadilah ia pemegang panji yang mencintai dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ada Abu ‘Ubaidah kepercayaan ummat ini. Seperti apa orangnya? Rapi jail! Pandai mengadministrasi, cerdas, dan adil. Sangat dipercaya, sampai orang-orang Romawi yang beragama Nasrani merindukannya. Sangat dipercaya, sampai ‘Umar kehabisan akal untuk memintanya keluar dari kota berwabah. Sangat dipercaya, maka begitu sulit mencari penggantinya mengurus Baitul Maal. Ada az-Zubair Hawari Rasulullah. Sebuah potret kesetiaan. Dan Thalhah yang perwira, perisai hidup Rasulullah yang di tubuhnya ada 70 sayatan pedang, hujaman tombak, dan tusukan anak panah. Maka jadilah ia, kata Rasulullah, seorang Syahid yang masih berjalan di muka bumi.

Ada orang-orang besar dengan gelar besar. Ada Khalid, pedang Allah yang senantiasa terhunus. Maka sering, dengan kudanya ia membelah barisan musuh sendirian. Ia pedang Allah, maka 13 pedang patah di tangannya pada perang Mut’ah. Ia pedang Allah, yang memang hanya hafal sedikit ayat. Tetapi seluruh bagian tubuhnya yang penuh luka akan menjadi saksi di hadapan Allah, meski ia mati di ranjang. Ada Hudzaifah, pemegang rahasia-rahasia Rasulullah. Maka ialah intelejen paling gemilang dalam sejarah, yang duduk di hadapan Abu Sufyan, pemimpin musuh. Maka Ketika pada Rasulullah manusia bertanya tentang amal-amal yang harus dilakukan, ia bertanya tentang laku-laku yang harus dijauhi. Ia, manusia yang lisannya takkan bisa dipaksa berbicara, meski oleh ‘Umar sahabatnya. Ia, pemegang rahasia-rahasia.

Ada lagi yang agung dalam gelar kematiannya. Hamzah penghulu syuhada’, Ja’far pemilik 2 sayap yang terbang kian kemari di surga, Abdullah ibn Rawahah yang ranjangnya terbang menghadap Rabbnya, Sa’ad ibn Mu’adz yang kenaikan ruhnya membuat Arsy Allah berguncang, dan Hanzhalah yang dimandikan malaikat.

Ada yang mulia dengan perbuatannya. Usaid ibn Hudhair yang tilawahnya didengarkan malaikat, Ibnu Mas’ud yang qiraatnya seperti saat al-Qur’an diturunkan, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang diberkahi dalam shadaqah dan simpanannya, keluarga Abu Thalhah yang membuat Allah takjub, dan Ukasyah yang ingin bersentuh kulit dunia akhirat dengan Rasulullah.

Ada sosok-sosok low profile seperti Ahli Surga yang dimata-matai ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash. Sedikit yang mengenalnya, bahkan ‘Abdullah tak melihatnya memilik keistimewaan apapun. Tapi ternyata, ia dibingkai oleh keikhlasan dan kejujuran, “Aku selalu menanggalkan semua perasaan tak enak dan prasangka terhadap sesame mukmin sebelum tidurku…”

Islam memuliakan semua posisi. Kalau tak memungkinkan menjadi karang yang kokoh di dasar lautan, menjadi rumput nan lemah lembut yang tak goyah dipukul pun tetap agung nilainya. Demi Allah tidak ada halangan menjadi mulia dengan alasan posisi tak memadai.

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang tidak menonjolkan diri, taqwa, dan shalih. Apabila tidak hadir, mereka tak dicari-cari. Apabila hadir mereka tak dikenali. Mereka bagaikan lentera-lentera petunjuk yang menerangi setiap kegelapan.” (HR. al-Mundziri dalam al-Targhib wa al-Tarhib, hasan)

Bahkan di antara 10 orang yang dijamin masuk surga, terdapat Sa’id ibn Zaid, sosok low profile yang Namanya nyaris tidak muncul dalam sirah selain dalam kisah keislaman ‘Umar dan kisah sengketa tanahnya dengan seorang wanita tua.

Ada lagi kelucuan lugu di balik sosok orator besar Tsabit ibn Qais. Ketika turun surah al-Hujurat : 2 yang berisi larangan meninggikan dan mengeraskan suara kepada Nabi, ia mengurung dirinya berhari-hari di dalam rumah. Ia pikir ayat itu turun tentang dirinya yang berpembawaan keras melengking tinggi saat berkata-kata. Untung Rasululullah menghiburnya, “Tidak, kataan padanya, dia tidak termasuk dalam ayat ini, bahka dia dicintai Allah dan Rasul-Nya”.

Ada yang tak sengaja menyaksikan seorang wanita Anshar mandi, lalu ia berlari ke tengah padang pasir karena takut dan malu akan diturunkan ayat tentang perbuatannya. Ia bertahan berhari-hari dalam penyesalan yang sangat dan tangis yang menyayat, sampai Rasulullah menyuruh menjemputnya dan ia menemui Rabbnya dalam taubat di pangkuan sang Nabi.

Ada yang pernah berbuat dosa, tapi ia jujur! Ma’iz mengakui perzinaannya, meminta rajam untuk dirinya, sampai Rasulullah mengatakan, “jika taubatnya dibagi untuk seluruh penduduk Madinah, niscaya mencukupi bagi mereka”.

Ka’ab ibn Malik, yang kekuatan argumennya tak terkalahkan justru mengaku jujur bahwa ia tak punya alasan Ketika tak ikut ke Tabuk, lalu ia jalani pengucilan 50 hari tanpa tegur sapa dari semua orang. Ketika bumi serasa sempit menghimpit, ia kuatkan untuk tidak menerima iming-iming suara Raja Ghassan. “Inilah musibah yang sebenarnya!”, ujarnya sambal melempar surat tawaran merah itu ke tungku menyala. Ketika penantian menyesakkan itu membuahkan penerimaan taubat, Rasulullah bersabda padanya, “Bergembiralah dengan hari terbaik sejak engkau dilahirkan ibumu!” dan hari itu wajah Rasulullah bagai purnama yang dikhususkan bercahaya untuk Ka’ab. Wajah itu sangat ia rindukan setelah 50 hari selalu membuang muka Ketika melihatnya.

Mereka, manusia-manusia biasa yang istiqomah dengan potensi kebaikan yang dimilikinya. Betapa indah hari-hari mereka. Mari kita berdoa, sebagai orang-orang yang datang sesudah mereka.

 

 

 



[Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim 111-120]

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidakkah Kau Gelisah?

Meninggalkan 2022