Semua Tentang Pilihan (1)
Berbicara tentang pilihan, tentunya dalam hidup ini kita tak pernah lepas dari hal itu. Entah pilihan di antara 2 hal, 3 hal, atau bahkan lebih. Cerita tentang memilih baju untuk pergi ke suatu acara atau memilih sepatu yang akan kubeli di sebuah toko tentunya tak akan kuceritakan di sini. Kali ini, aku akan bercerita tentang pilihan-pilihan terbesar yang pernah kubuat dalam hidupku.
Aku tak pernah merasakan seberat itu ternyata membuat pilihan. Sejak TK, SD, aku tak pernah memiliki pilihan lain ke sekolah mana akan kulanjutkan pendidikanku. Semua dimulai sejak SMP, aku mulai memiliki 2 pilihan, sekolah umum atau sekolah agama? Akhirnya, aku memilih sekolah agama. Dan di sanalah aku. Melanjutkan masa SMP ku di Madrasah Tsanawiyah yang tak jauh dari rumah. Menempuh pendidikan selama 3 tahun di sana dan mendapatkan banyak teman dan pelajaran. Itu pilihanku.
Pilihan kedua, kumulai saat akan melanjutkan SMA. Rankingku saat SMP membuatku mendapat kesempatan bisa melanjutkan di Madrasah Aliyah di sana tanpa harus mengikuti tes ujian masuk. Intinya, aku salah satu orang terpilih. Teman-teman SMP ku pun tak sedikit yang melanjutkan SMA di sana. Mungkin karena lingkungan dan teman teman yang tak jauh berbeda dengan SMP. Tapi aku tak memilihnya. Kuabaikan kesempatan itu. Aku mulai mencari cari SMA lain. Aku ingin pergi jauh. Setidaknya di luar pulau Kalimantan. Kedua orangtuaku mendukung dengan baik keputusanku. Aku mulai mencari SMA dan Boarding School di daerah Jakarta, Jawa Barat, dan sekitarnya. Pada akhirnya, aku punya 2 pilihan saat itu. 2 sekolah di daerah Jakarta dan Tangerang. Aku pun pergi ke Jakarta untuk mengikuti tes ujian masuk. Kebetulan, saat itu Abi juga ada undangan reuni angkatan alumni Darunnajah Jakarta. Aku senang bisa ikut menghadiri acara itu. Bertemu dengan orang-orang yang biasanya hanya kulihat di televisi. Seperti Ustadz Arifin Ilham, atau pelawak Mukhlas yang terkenal dengan panggilan Mucle. Setelah selesai urusan di Jakarta, aku dan Abi segera pulang.Berikutnya aku terbang lagi ke Jawa untuk mengantar kakak dan sepupuku ke Kampung Inggris, Pare sambil mereka menunggu pendaftaran kuliah mereka. Sepulang dari Pare, untuk pertama kalinya aku dan Abi bepergian jauh dengan bis. Waktu tempuh antara Kediri-Jakarta sekitar 18 jam. Sangat tidak nyaman sebenarnya. Badan terasa hancur dan sepanjang jalan hanya kedinginan karena AC bis yang walaupun sudah ditutup tetap saja terasa dingin. Pada saat perjalanan panjang itulah, aku melihat sesuatu. Bis yang kami tumpangi berhenti di pinggir jalan, menurunkan penumpangnya. Bis itu berhenti tepat di depan sebuah pondok pesantren yang sangat besar dan megah. Ya, itulah dia Gontor Putri. Aku pun mengambil beberapa foto dan kemudian bis kembali melaju.
Sesampainya di rumah, selama beberapa hari aku menunggu pengumuman hasil tes ujian masuk. Dan... jengjengjeng... Tidak lolos! hahaha. Dari situlah aku mulai membuat pilihan kembali. Ke SMA mana selanjutnya aku akan melanjutkan pendidikan? Dan entah aku mendapatkan hidayah atau bagaimana, akhirnya kuputuskan untuk masuk pondok. Kutanyakan pada Abi pondok mana yang bagus. Abi menyarankan Gontor Putri. Karena kata Abi, Gontor yang terbaik.
Baiklah, akhirnya aku pun pergi ke Gontor Putri sejak Ramadhan, mengikuti Pondok Ramadhan selama 15 hari kemudian kembali lagi ke Kalimantan. 5 Syawal aku kembali lagi ke Gontor Putri untuk mendaftarkan diri sebagai Calon Pelajar. Setelah kurang lebih mengikuti kegiatan Capel selama 7 hari, aku akhirnya ditetapkan lolos sebagai Santriwati Gontor Putri 2. Tak mudah memang. Aku sendirian, tak ada yang kukenal, tak ada yang berasal dari daerah yang sama, aku benar-benar sendiri. Tapi itu menjadi tantangan tersendiri untukku pada akhirnya. Pergi ke suatu tempat yang asing bagiku dan tak ada seorangpun yang mengenalku. Itu pilihanku.
Setelah menyelesaikan masa SMA selama 4 tahun di Gontor Putri 2, aku kembali diminta untuk membuat pilihan. Kemana aku akan mengabdi? Karena program Gontor yang mewajibkan pengabdian untuk seluruh santrinya yang telah lulus dari KMI (Kuliyyatul Mu'allimin al-Islamiyyah) tanpa terkecuali, kami pun mulai menentukan pilihan kami. Saat itu, setiap santri diminta untuk menuliskan 3 pilihan pengabdian. Di pondok manakah dia ingin mengabdi? Aku pun menuliskan pilihanku. Dan ternyata, pilihan ketigaku lah yang terpilih. Aku mengabdi di pondok dimana aku telah menempuh pendidikan selama 4 tahun. Ya, di Gontor Putri 2. Ada banyak sekali kisah menyedihkan dibalik terpilihnya pilihan ketigaku ini. Tapi pada akhirnya, tak terasa 1 tahun telah terlewati. Banyak sekali kisah, suka, duka, dan pengalaman berharga yang kudapatkan selama pengabdian. Itu pilihanku.
Di penghujung pengabdian, kami kembali diminta untuk membuat pilihan. Apakah ingin melanjutkan pengabdian atau berhenti setelah 1 tahun? Banyak sekali pertimbangan saat menentukan pilihan ini. Dan pada akhirnya, seperti keputusanku sejak pertama kali, aku hanya akan mengabdi selama 1 tahun dan meneruskan kuliah di universitas lain. Itu pilihanku.
Dan lagi-lagi, keharusan untuk membuat pilihan kembali datang. Kuliah atau tidak? Jika kuliah, Universitas apa yang harus dipilih? Jika tidak, kegiatan apa yang akan dilakukan selama gapyear? Aku sempat berniat untuk menghafal Al Qur'an. Tapi, pondok atau lembaga tahfidz mana yang harus kupilih? Banyaknya pilihan yang datang sempat membuatku bingung. Tak lupa, selalu kuminta pendapat kepada kedua orangtua. Karena, pasti orangtua bisa membantu dengan menentukan pilihan yang terbaik untuk kita. Meskipun pada akhirnya, semua pilihan kembali ke tangan kita. Karena kitalah yang menentukan masa depan kita, bukan orangtua. Dan pada akhirnya, aku memilih untuk kuliah. Tapi, aku kembali harus melakukan pencarian. Pencarian universitas. Sempat berniat untuk mengikuti beasiswa ke luar negeri, tapi Mama tak mengizinkan karena terlalu jauh. Selama beberapa saat kuhentikan pencarian itu. Kubiarkan waktu berlalu begitu saja mendekati akhir pengabdianku. Aku menjalankan semua kegiatan di akhir-akhir masaku di pondok. Aku menikmatinya. Karena, kusadari tak akan lagi kujumpai masa-masa seperti ini jika nanti aku sudah pergi. Banyak sekali kisah menyedihkan dan mengharukan yang tak mungkin bisa kuceritakan di sini. Masa-masa terakhirku di pondok adalah masa-masa yang nano-nano. Semua bercampur aduk. Saat menjadi panitia ujian akhir tahun, aku terpilih menjadi Nomerator. Yang bisa dibilang memiliki peran yang sangat penting dalam kepanitiaan ujian. Ketika itu, setiap harinya aku selalu membawa buku bacaan yang sampai akhir pengabdianku di pondok pun tak selesai kubaca isinya. Buku itu berjudul "Saring sebelum Sharing" yang sedikit mengenalkanku pada tempatku kuliah kini. Membaca buku itu sedikit memberiku pencerahan akan kulanjutkan kemana langkah kaki setelah kutinggalkan pergi pondok ini. Setiap kali aku pergi ke Computer Center, selalu kucari tau tentang kampus ini. Dan tentunya dari situ semangatku untuk kembali menentukan pilihan kembali membara. Beberapa kampus dengan program tahfidz pun mulai kucari di internet. Hingga pada akhirnya, aku jatuh hati pada kampus ini, Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) Jakarta. Itu pilihanku.
Aku terjebak masa pandemi. Aku tak bisa pergi ke Jakarta untuk kuliah. Aku tak bisa merasakan tinggal di asrama dan belajar langsung bersama dosen dan teman teman di kampus. Aku lalu diminta untuk mengajar di SD tempatku dulu menempuh pendidikan Sekolah Dasar. Di sini aku kembali membuat pilihan. Terima atau tidak? Dan aku menerimanya. Kini, sudah hampir genap 1 tahun aku mengajar di sini. Aku mendapatkan banyak sekali pengalaman. "Experience is the best teacher" memang benar. Pengalaman adalah guru terbaik. Pelajaran hidup benar-benar kudapatkan di sini. Lelah memang. Badan terasa remuk, pikiran berkecamuk, karena harus mengerjakan tugas kuliah diimbangi dengan tugas di sekolah. Membuat video pembelajaran, menilai tugas, belum lagi kegiatan-kegiatan sekolah lainnya yang bisa dibilang padat. Tapi, semua tentu ada hikmahnya. Pelajaran yang tak mungkin kudapatkan di tempat lain, semua kudapatkan di sini. Intinya, aku merasa lebih baik di sini. Itu pilihanku.
Dan di masa kuliahku ini, aku kembali membuat pilihan yang akan menentukan masa depanku. Dari dulu, aku selalu ingin aktif berorganisasi. Masa kuliah tentunya adalah masa terbaik untuk berorganisasi. Aku sempat bingung memilih organisasi di kampus. Karena tentunya organisasi adalah forum besar. Banyak orang di dalamnya. Tak bisa dipilih dengan main-main. Aku ingin bergabung dengan organisasi yang di sana hatiku terpaut. Tapi nyatanya organisasi tersebut tak ada di kampusku. Hingga akhirnya kutemukan organisasi itu ada di kampus lain, dan lintas kampus ternyata diperbolehkan. Aku pun bergabung dengan organisasi eksternal itu. I'm fallin love with them. Orang-orang di dalamnya baik, lingkunganya baik, kegiatannya baik. Aku sangat bersyukur di hari terakhir pendaftaran aku dipertemukan dengan teman yang membagikan poster pendaftarannya sehingga aku bisa ikut bergabung dengan organisasi itu. Dan organisasi itu adalah KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Itu pilihanku.
Mungkin sekian ceritaku tentang pengalaman dalam menentukan pilihan-pilihan besar dalam hidup. Aku hari ini, adalah pilihanku kemarin. Dan aku hari esok, adalah pilihanku hari ini.
Komentar
Posting Komentar